Halaman

Senin, 23 April 2012

CAMEL vs CAMELS

CAMEL vs CAMELS
“CAMEL ratings are based only on internal operations, they measure only the current financial condition of a bank and do not take into account regional or local economic developments that may pose future problems but that are not yet reflected in the bank’s condition” - Federal Deposit Institution Council, Amerika Serikat
Saya coba menulis bahan diskusi untuk mahasiswa, sebagian besar isinya sih diambil dari makalah yang disampaikan ke Bank Indonesia.

Saya meyakini pihak Bank Indonesia sudah mengetahui dan memahami maksud kutipan di atas. Apalagi sistem penilaian kesehatan bank di Indonesia relatif sama- kalau tidak bisa dikatakan mengacu- ke sistem penilaian yang diterapkan di Amerika Serikat. Jika dikaitkan dengan tanggung jawab terhadap pertumbuhan ekonomi Saya berpendapat bahwa sistem penilaian kesehatan bank di Indonesia pun akhirnya kurang peka terhadap usaha-usaha bank untuk ikut memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Secara makro jelas Bank Indonesia punya mekanisme lain dalam upaya mempengaruhi perekonomian, misalnya dengan memainkan instrumen moneter. Tapi persoalannya disini adalah mungkinkah Bank Indonesia memberikan insentif lebih besar lagi kepada bank yang memberikan kontribusi nyata dalam upaya-upaya peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat?
Mari kita coba lihat struktur atau komponen penilaian CAMELS yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 serta ketentuan pelaksanaannya sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004. Semua komponen terlihat lebih mengarah pada ukuran-ukuran kinerja perusahaan secara internal, mulai dari permodalan, kekayaan, manajemen, keuntungan, dan likuiditas.
Jika dibandingkan sistem penilaian kesehatan sebelumnya yaitu dengan metoda CAMEL, sistem yang berlaku sekarang memang lebih komprehensif, atau bisa diartikan lebih banyak komponen atau rasio-rasio yang dinilainya, termasuk penambahan komponen baru yaitu Sensitivity to market risk (S). Sebagai lembaga keuangan yang juga mengambil alih resiko dalam pengelolaan dana masyarakat, kepekaaan terhadap resiko pasar tidak bisa dipungkiri merupakan prinsip perbankan yang tidak bisa ditawar. Tapi masih mungkinkah pihak Bank Indonesia memperluas pengertian kepekaan tersebut, misalnya kepekaan terhadap pembangunanperekonomian? Atau mungkinkah program Corporate Social Responsibility (CSR) digunakan sebagai faktor penambah dalam sistem penilaian kesehatan bank? Sedangkan dalam UU perbankan nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 10 tahun 1998 disebutkan bahwa perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.
Bank Indonesia sendiri mengatakan bahwa CSR tersebut sudah menjadi kecenderungan global, sebagai wujud penerapan Good Corporate Governance (GCG) yang selanjutnya diatur melalui PBI nomor 8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan GCG bagi bank umum. Selain itu, CSR terkait juga dengan pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs), yang disepakati untuk diadopsi oleh 189 negara yang menghadiri KTT Milenium PBB pada bulan September 2000. Bahkan Indonesia sendiri telah berinisiatif menyelenggarakan pertemuan di Jakarta yang menghasilkan Deklarasi Jakarta mengenai MDG di Asia-Pasifik pada tanggal 5 Agustus 2005. Dan dua tujuan pertama dari MDG adalah mengurangi angka kemiskinan dan kelaparan serta menuntaskan tingkat pendidikan dasar. Sudahkan pihak perbankan nasional ikut berpartisipasi dalam pencapaian tujuan MDG yang sudah menjadi komitmen global dan nasional tersebut?
Pada sistem penilaian sebelumnya justru ada sistem insentif yang diberikan kepada bank yang memberikan kreditnya ke Usaha Kecil yaitu minimal 20% dari kredit yang disalurkan. Pelaku usaha kecil ini berjumlah lebih dari 43 juta atau 99,8 persen dari toal pelaku usaha dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 70 juta atau 89.8 persen dari jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri (sumber dari Kementrian KUKM). Bank Indonesia mungkin punya alasan kuat untuk menghilangkan faktor penilaian tambahan tersebut pada sistem penilaian yang baru. Alasannya bisa saja karena pemberlakuan equal treatment terhadap semua debitur tanpa melihat kapasitas dan skala usahanya. Atau karena kesulitan pihak bank dalam menyalurkan ke usaha kecil karena masalah administrasi atau faktor resikonya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar